Kearifan
Lokal
Diajukan untuk Memenuhi Tugas Pendidikan
Lingkungan Hidup
OLEH
MIFTAHUL RAHMI
DEWI NUAZIZAH
HELLY NUR WINARSIH
DWI NOVITA SARI
BELLA NISSA
RIRIT HARIANTI
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA INDONESIA
JURUSAN BAHASA DAN SENI
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS RIAU
2016
BAB I
Pendahuluan
A.
Latar Belakang
Jika dilihat dari
perkembangan zaman saat ini, tidak sedikit para generasi muda yang tidak
memahami warisan kebudayaan bangsanya sendiri. Hingga sedikit demi sedikit
mengikis jiwa kebangsaan mereka. Walaupun masalah pengetahuan kebudayaan tidak
menjadi materi penting dalam kurikulum sekolah-sekolah, tapi sebenarnya materi
ini seharusnya sudah ada pada kurikulum sekolah seperti SD,SMP dan SMA.
Selain sebagai warisan kebudayaan yang harus dipertahankan,
kearifan lokal beberapa masyarakat yang ada di Indonesia juga bisa menjadi
salah satu solusi yang mungkin bisa menyelesaikan permasalahan lingkungan
akibat modernisasi industri yang tengah melanda seluruh dunia saat ini. Hal ini
dikarenakan masyarakat tradisional yang ada di wilayah Indonesia masih
mempertahankan tata cara penataan lingkungan yang bersahabat dengan alam.
Sehingga tidak akan mengganggu ataupun merusak kestabilan ekosistem manusia.
Oleh karena itu disusunnya makalah ini semoga bisa menambah
pengetahuan kita khususnya dalam pengelolaan lingkungan yang dikombinasikan
dengan nilai-nilai tradisional yang ramah lingkungan.Sehingga kearifan lokal
yang terus dijaga di beberapa wilayah Indonesai tidak hanya sebagai warisan
lokal yang harus dijaga tapi nilainya bertambah sebagai solusi atas masalah
lingkungan saat ini. Agar budaya dan lingkungan dapat hidup berdampingan sampai
kepada anak cucu kita nantinya.
B.
Rumusan Masalah
Adapun permasalahan
dalam makalah ini adalah:
1.
Apa yang dimaksud
dengan kearifan lokal?
2.
Apa cakupan ruang
lingkup kearifan lokal?
3.
Apa sajakah fungsi dari
kearifan lokal?
4.
Apa saja pendekatan
kearifan lokal?
5.
Bagaimana kearifan lokal
dalam pengelolaan lingkungan?
6.
Bagimana kearifan lokal
dalam pengelolaan sumber daya alam?
BAB II
Kearifan Lokal
A.
Pengertian
Kearifan Lokal
Kearifan lokal berasal
dari dua kata yaitu kearifan (wisdom), dan lokal (local). Secara umum local
wisdom (kearifan setempat) dapat dipahami merupakan gagasan gagasan setempat
(local) yang bersifat bijaksana, penuh kearifan, bernilai baik, yang tertanam
dan diikuti oleh anggota masyarakatnya. Menurut rumusan yang dikeluarkan oleh
Departemen Sosial (sekarang Kementerian Sosial) kearifan lokal diartikan
sebagai pandangan hidup dan pengetahuan serta berbagai strategi kehidupan yang
berwujud aktivitas yang dilakukan oleh masyarakat lokal dalam menjawab berbagai
masalah dalam pemenuhan kebutuhan mereka (Departemen Sosial RI, 2006). Dalam
pengertian kebahasaan kearifan lokal, berarti kearifan setempat (local wisdom) yang
dapat dipahami sebagai gagasan-gagasan lokal yang bersifatvbijaksana, penuh
kearifan, bernilai yang tertanam dan diikuti oleh warga masyarakatnya. Dalam konsep
antropologi, kearifan lokal dikenal pula sebagai pengetahuan setempat
(indigenous or local knowledge), atau kecerdasan setempat (local genius), yang
menjadi dasar identitas kebudayaan (cultural identity) (Makmur, 2011).
Kearifan lokal dalam
bahasa asing sering dikonsepsikan sebagai kebijakan setempat (local wisdom),
pengetahuan setempat (local knowledge) atau kecerdasan setempat (local
genious). Kearifan lokal juga dapat dimaknai sebuah pemikiran tentang hidup.
Pemikiran tersebut dilandasi nalar jernih, budi yang baik, dan memuat hal-hal
positif. Kearifan lokal dapat diterjemahkan sebagai karya akal budi, perasaan
mendalam, tabiat, bentuk perangai, dan anjuran untuk kemuliaan manusia.
Penguasaan atas kearifan lokal akan mengusung jiwa mereka semakin berbudi
luhur.
Menurut Petrasa
Wacana kearifan lokal merupakan
seperangkat pengetahuan yang dikembangkan oleh suatu kelompok masyarakat
setempat (komunitas) yang terhimpun dan terangkum dari pengalaman panjang
manusia menggeluti alam dalam ikatan hubungan yang saling menguntungkan kedua
belah pihak (manusia dan lingkungan) secara berkelanjutan dan dengan ritme yang
harmonis. Kemudian kita lanjutkankan dengan kearifan lokal yang spesifik
mengenai lingkungan yaitu kearifan lingkungan.Kearifan lingkungan (ecological
wisdom) merupakan pengetahuan yang diperoleh dari abstraksi pengalaman adaptasi
aktif terhadap lingkungannya yang khas. Pengetahuan tersebut diwujudkan dalam
bentuk ide, aktivitas dan peralatan. Kearifan lingkungan yang diwujudkan ke
dalam tiga bentuk tersebut dipahami, dikembangkan, dipedomani dan diwariskan
secara turun-temurun oleh komunitas pendukungnya.Sikap dan perilaku menyimpang
dari kearifan lingkungan, dianggap penyimpangan (deviant), tidak arif, merusak,
mencemari, mengganggu dan lain-lain. Kemudian kita juga dapat menggali
lebih dalam lagi mengenai kearifan lingkungan. Kearifan lingkungan dimaksudkan
sebagai aktivitas dan proses berpikir, bertindak dan bersikap secara arif dan
bijaksana dalam mengamati, mamanfaatkan dan mengolah alam sebagai suatu
lingkungan hidup dan kehidupan umat manusia secara timbal balik. Kesuksesan
kearifan lingkungan itu biasanya ditandai dengan produktivitas, sustainabilitas
dan equtablitas atau keputusan yang bijaksana, benar, tepat, adil, serasi dan
harmonis.
Menurut Munsi Lampe
melalui artikelnya yang berjudul “Kearifan Tradisional Lingkungan Belajar dari
Kasus Komunitas-Komunitas Petani dan Nelayan Tradisional” Kearifan lingkungan
di Indonesia menjadi topik perbincangan yang menarik, bahkan mendesak
kepentingannya sehubungan dengan isu program rehabilitasi dan pengelolaan
lingkungan, khususnya lingkungan ekosistem laut (mangrof dan terumbu karang)
yang mengalami kerusakan pada hampir semua daerah perairan pantai dan pulau -
pula, yang menurut hasil penelitian, banyak diakibatkan oleh perilaku
pemanfaat, terutama komunitas-komunitas nelayan itu sendiri.
Haryati Soebadio
berpendapat bahwa kearifan lokal adalah suatu identitas/kepribadian budaya
bangsa yang menyebabkan bangsa tersebut mampu menyerap dan mengolah kebudayaan
asing sesuai watak dan kemampuan sendiri.
Menurut Rahyono
(2009:7) kearifan lokal merupakan kecerdasan manusia yang dimiliki oleh
kelompok etnis tertentu yang diperoleh melalui pengalaman masyarakat. Artinya,
kearifan lokal adalah hasil dari masyarakat tertentu melalui pengalaman mereka
dan belum tentu dialami oleh masyarakat yang lain. Nilai-nilai tersebut akan
melekat sangat kuat pada masyarakat tertentu dan nilai itu sudah melalui
perjalanan waktu yang panjang, sepanjang keberadaan masyarakat tersebut.
Definisi kearifan lokal
tersebut, paling tidak menyiratkan beberapa konsep, yaitu:
1.
Kearifan lokal adalah
sebuah pengalaman panjang, yang diendapkan sebagai petunjuk perilaku
seseorang;
2.
Kearifan lokal tidak
lepas dari lingkungan pemiliknya;
3.
Kearifan lokal itu
bersifat dinamis, lentur, terbuka, dan senantiasa menyesuaikan dengan zamannya.
Menurut Wahyu dalam
Mukti (2010) bahwa kearifan lokal, dalam terminology budaya, dapat
diinterpretasikan sebagai pengetahuan lokal yang berasal dari budaya
masyarakat, yang unik, mempunyai hubungan dengan alam dalam sejarah yang
panjang, beradaptasi dengan sistem ekologi setempat, bersifat dinamis dan
selalu terbuka dengan tambahan pengetahuan baru. Secara lebih spesifik,
kearifan lokal dapat diartikan sebagai suatu pengetahuan lokal, yang unik yang
berasal dari budaya atau masyarakat setempat, yang dapat dijadikan dasar
pengambilan keputusan pada tingkat lokal dalam bidang pertanian, kesehatan,
penyediaan makanan, pendidikan, pengelolaan sumberdaya alam dan beragam
kegiatan lainnya di dalam komunitas-komunitas.
Jadi, dapat disimpulakan kearifan lokal adalah , kearifan lokal dapat diartikan sebagai suatu pengetahuan lokal, yang unik
yang berasal dari budaya atau masyarakat setempat, yang dapat dijadikan dasar
pengambilan keputusan pada tingkat lokal dalam bidang pertanian, kesehatan,
penyediaan makanan, pendidikan, pengelolaan sumberdaya alam dan beragam
kegiatan lainnya di dalam komunitas-komunitas.
B.
Ruang
Lingkup Kearifan Lokal
Kearifan lokal
merupakan fenomena yang luas dan komprehensif. Cakupan kearifan lokal cukup
banyak dan beragam sehingga sulit dibatasi oleh ruang. Kearifan tradisional dan
kearifan kini berbeda dengan kearifan lokal. Kearifan lokal lebih menekankan
pada tempat dan lokalitas dari kearifan tersebut sehingga tidak harus merupakan
sebuah kearifan yang telah diwariskan dari generasi ke generasi. Kearifan lokal
bisa merupakan kearifan yang belum lama muncul dalam suatu komunitas sebagai
hasil dari interaksinya denganlingkungan alam dan interaksinya dengan
masyarakat serta budaya lain. Oleh karena itu, kearifan lokal tidak selalu
bersifat tradisional karena dia dapat mencakup kearifan masa kini dan karena
itu pula lebih luas maknanya daripada kearifan tradisional.
Untuk membedakan
kearifan lokal yang baru saja muncul dengan kearifan lokal yang sudah lama
dikenal komunitas tersebut, dapat digunakan istilah: kearifan kini, kearifan
baru, atau kearifan kontemporer. Kearifan tradisional dapat disebut kearifan
dulu atau kearifan lama.
C.
Fungsi
Kearifan Lokal
Kearifan lokal
merupakan salah satu warisan dari nenek moyang, warisan tersebut bisa berupa
tata nilai kehidupan yang menyatu dalam bentuk religi, budaya ataupun adat
istiadat (Basuni, 2012). Keberadaan kearifan lokal ini bukan tanpa fungsi.
Kearifan lokal sangat banyak fungsinya. Seperti yang dituliskan Sartini (2006),
bahwa fungsi kearifan lokal adalah sebagai berikut:
1.
Berfungsi untuk konservasi dan
pelestarian sumber daya alam.
2.
Berfungsi untuk pengembangan sumber daya
manusia.
3.
Berfungsi untuk pengembangan kebudayaan dan
ilmu pengetahuan.
4.
Berfungsi sebagai petuah,
kepercayaan, sastra dan pantangan.
5.
Bermakna sosial misalnya upacara integrasi
komunal/kerabat.
6.
Bermakna sosial, misalnya pada
upacara daur pertanian
7.
Bermakna etika dan moral.
8.
Bermakna politik,
kearifan lokal yang terkait dengan
kebudayaan, memiliki arti penting untuk menjaga keberlanjutan kebudayaan,
sekaligus agar selalu terjaga kelestariannya. Terlebih lagi, di tengah-tengah
modernisasi yang istilahnya saat ini lebih akrab dikenal sebagai globalisasi.
Yang dalam kenyataannya, globalisasi itu dapat menggeser nilai-nilai budaya
lokal oleh nilai budaya asing yang berkembang begitu pesat di dalam kehidupan
masyarakat di Indonesia, baik yang hidup di perkotaan maupun perdesaan
(Puslitbangbud, 2011).
Pelestarian kearifan lokal dengan
sendirinya akan dapat melestarikan lingkungan perdesaan. Karena, nilai-nilai
kearifan lokal tersebut akan menjadikan masyarakat memiliki karakter kuat
sesuai dengan budaya dan norma yang berlaku di lingkungannya. Selain itu,
desa-desa yang berbatasan langsung dengan kawasan konservasi akan menjaga
kelestarian kawasan konservasi karena biasanya kawasan tersebut erat kaitannya
dengan nilai-nilai kearifan lokal yang dianut. Kegiatan konservasi di suatu
wilayah sebaiknya berasal dari kesadaran masyarakat yang berada di wilayah yang
bersangkutan. Kesadaran akan pentingnya menjaga keanekaragaman hayati sangat
diperlukan tidak saja untuk kepentingan bangsa Indonesia melainkan juga untuk
kepentingan masyarakat dunia secara keseluruhan dan diarahkan untuk kepentingan
jangka panjang (Aulia & Dharmawan, 2010).
Peranan kearifan lokal dalam kelestarian
lingkungan perdesaan dapat kita temukan contoh kasusnya pada kampung-kampung adat
seperti Baduy, Kampung Kuta, Kampung Naga, dsb. Di daerah tersebut, lingkungan perdesaan
dan hutan yang berbatasan langsung sangat terjaga kelestariannya, masyarakat
dapat memanfaatkan hutan dan sumber daya yang terkandung di dalamnya namun
tetap dapat menjaga kelestarian dari hutan tersebut karena terikat oleh nilai-nilai
kearifan lokal
D.
Pendekatan
Kearifan Lokal
Dalam belajar kearifan
lokal khususnya dan kearifan lingkungan pada umumnya maka penting untuk
mengerti :
a)
Politik Ekologi (Political Ecology)
Politik ekologi sebagai suatu pendekatan, yaitu upaya untuk mengkaji sebab
akibat perubahan lingkungan yang lebih kompleks daripada sekedar sistem
biofisik yakni menyangkut distribusi kekuasaan dalam satu masyarakat.
Pendekatan ini didasarkan pada pemikiran tentang beragamnya kelompok-kelompok
kepentingan, persepsi dan rencana yang berbeda terhadap lingkungan. Melalui
pendekatan politik ekologi dapat untuk melihat isu-isu pengelolaan lingkungan
khususnya menyangkut isu “right to environment dan environment justice” dimana
right merujuk pada kebutuhan minimal/standarindividu terhadap obyek-obyek right
seperti hak untuk hidup, hak untuk bersuara, hak untuk lingkungan dan
lain-lain. Adapun justice menekankan alokasi pemilikan dan penguasaan atas
obyek-obyek right yaitu merujuk pada persoalan-persoalan relasional antar individu
dan antar kelompok (Bakti Setiawan, 2006).
Konsep right to environment dan environment justice harus mempertimbangkan
prinsipprinsip keadilan diantara generasi (intra-generational justice) dan
lintas generasi (inter-generational justice), karena konsep pembangunan
berkelanjutan menekankan baik dimensi diantara generasi maupun lintas
generasi.
b)
Human Welfare Ecology
Pendekatan Human Welfare Ecology menurut Eckersley, 1992 dalam Bakti
Setiawan, 2006 menekankan bahwa kelestarian lingkungan tidak akan terwujud
apabila tidak terjamin keadilan lingkungan, khususnya terjaminnya kesejahteraan
masyarakatnya.
Maka dari itu perlu strategi untuk dapat menerapkannya antara lain :
a.
Strategi pertama,
melakukan perubahan struktural kerangka perundangan dan praktek politik
pengelolaan sumberdaya alam, khususnya yang lebih memberikan peluang dan
kontrol bagi daerah, masyarakat lokal dan petani untuk mengakses sumberdaya
alam (pertanahan, kehutanan, pertambangan, kelautan). Dalam hal ini lebih
memihak pada masyarakat lokal dan petani dan membatasi kewenangan negara yang
terlalu berlebihan (hubungan negara kapital masyarakat sipil).
b.
Strategi kedua,
menyangkut penguatan institusi masyarakat lokal dan petani.
c)
Pendekatan Ekosistemik
Pendekatan ekosistemik melihat komponen-komponen manusia dan
lingkungan sebagai satu kesatuan ekosistem yang seimbang dan
d)
Pendekatan Aksi dan Konsekuensi (Model penjelasan Konstekstual
Progressif)
Model ini lebih
aplikatif untuk menjelaskan dan memahami fenomena-fenomena yang menjadi pokok
masalahnya. Kelebihan dari pendekatan ini adalah mempunyai asumsi dan model
penjelasan yang empirik, menyediakan tempat-tempat dan peluang bagi adopsi
asumsi-asumsi dan konsep-konsep tertentu yang sesuai.
Selanjutnya Vayda dalam
Su Ritohardoyo (2006:25) menjelaskan bahwa pendekatan kontekstual progressif
lebih menekankan pada obyek-obyek kajian tentang :
(a) aktivitas manusia dalam hubungan
dengan lingkungan
(b) penyebab terjadinya aktivitas
dan
(c) akibat-akibat aktivitas baik
terhadap lingkungan maupun terhadap manusia sebagai pelaku aktivitas.
E.
Kearifan
Lokal dalam Pengelolaan Lingkungan
Sejarah peradapan telah
menunjukkan betapa usaha manusia untuk meningkatkan kesejahteraan hidupnya
telah menimbulkan kesengsaraan berupa bencana alam yang disebabkan karena
manusia tidak mampu mengendalikan ketamakannya.Mengalami hal tersebut, manusia
mulai berfikir dan bekerja secara aktif untuk memahami lingkungannya yang
memberikan tantangan dan mengembangkan cara-cara yang paling menguntungkan dalam
upaya memenuhi kebutuhan hidup yang terus cenderung meningkat dalam jumlahnya,
ragam dan mutunya.
Manusia berusaha
memahami alam semesta beserta isinya, memilah-milah gejala yang nampak nyata
atau tidak nyata ke dalam sejumlah kategori untuk mempermudah mereka dalam
menghadapi alam secara lebih efektif.Dengan kemampuan bekerja dan berfikir
secara metaforik, manusia tidak lagi mengandalkan naluri dalam beradaptasi
dengan lingkungan.Ia mulai secara aktif mengolah sumberdaya alam dan mengelola
lingkungan sesuai dengan resep-resep budaya yang merupakan himpunan abstraksi
pengalaman mereka menghadapi tantangan. Manusia dalam beradaptasi,
mengembangkan kearifan lingkungan yang berwujud ideasional berupa pengetahuan
atau ide, norma adat, nilai budaya, aktifitas serta peralatan, sebagai hasil
abstraksi pengalaman yang dihayati oleh segenap masyarakat pendukungnya dan
yang menjadi pedoman atau kerangka acuan untuk melihat, memahami, memilah-milah
gejala yang dihadapi serta memilih strategi bersikap maupun bertindak dalam
mengelola lingkungan.
Keanekaragaman
pola-pola adaptasi manusia terhadap lingkungan, terkadang tidak mudah
dimengerti oleh pihak ketiga yang mempunyai latar belakang sosial dan
kebudayaan yang berbeda.Namun demikian, keanekaragaman pola-pola adaptasi
terhadap lingkungan tersebut merupakan faktor yang harus diperhitungkan dalam
perencanaan dan pelaksanaan pembangungan yang berkelanjutan.
Masyarakat Indonesia
dengan ribuan komunitas mengembangkan kearifan lokal sesuai dengan
karakterisktik lingkungan yang khas. Secara suku bangsa terdapat lebih kurang
555 suku bangsa atau sub suku bangsa yang tersebar di wilayah Kepulauan
Nusantara. Dalam beradaptasi terhadap lingkungan, kelompok-kelompok masyarakat
tersebut mengembangkan kearifan lingkungan sebagai hasil abstraksi pengalaman
mengelola lingkungan.Sering kali pengetahuan mereka tentang lingkungan setempat
sangat rinci dan menjadi pedoman yang akurat bagi masyarakat yang mengembangkan
kehidupan di lingkungan pemukiman mereka.Pengetahuan rakyat itu biasanya
berbentuk kearifan yang sangat dalam maknanya dan sangat erat kaitannya dengan
pranata kebudayaan, terutama pranata kepercayaan (agama) dan hukum adat yang
kadang-kadang diwarnai dengan mantra-mantra.Ia merupakan kumpulan abstraksi
pengalaman yang dihayati oleh segenap anggota masyarakat pendukungnya dan
menjadi pedoman atau kerangka acuan untuk melihat, memahami dan memilah-milah
gejala yang dihadapi serta memilih strategi dalam bersikap maupun bertindak
dalam mengelola lingkungan. Perbedaan acuan, pandangan/penilaian, standar,
ukuran atau kriteria tersebut, dapat menimbulkan benturan atau konflik antara
masyarakat lokal dengan pengusaha maupun pemerintah.Padahal, pembangunan
berkelanjutan memungkinkan pemanfaatan kearifan dan sumber-sumber daya sosial
sebagai modal dalam pelestarian fungsi lingkungan hidup. Kurangnya perlindungan
atau penghormatan terhadap kearifan lingkungan yang dikembangkan masyarakat
lokal dalam pengelolaan lingkungan hidup dan pemanfaatan sumber daya alama,
antara lain disebabkan oleh kurangnya pemahaman para pihak terkait
(stakeholders) dan tidak bersedianya informasi mengenai kearifan lingkungan.
Sejumlah konflik yang muncul mengenai lingkungan lebih banyak melibatkan
masyarakat adat dengan masyaralat lain yang tidak mengalami kearifan lokal dan
adat suatu masyarakat tentang bagaimana masyarakat tersebut mengelola
lingkungannya secara tradisional termasuk pelanggaran pemilikan tanah secara
adat. Karena itu, langkah yang tepat dalam usaha untuk mewujudkan kearifan
lingkungan adalah dengan mengkaji kembali tragedi yang ada di masyarakat
tentang usaha mereka untuk mewujudkan keseimbangan kehidupannya dengan
lingkungannya. Tradisi dan aturan lokal yang tercipata dan diwariskan turun
menurun untuk mengelola lingkungan, dapat merupakan materi penting bagi
penyusunan kebijakan yang baru tentang lingkungan. Norma-norma yang mengatur
kelakuan manusia dalam berinteraksi dengan lingkungannya, ditambah dengan
kearifan ekologi tradisional yang mereka miliki, merupakan etika lingkungan
yang mempedomani perilaku manusia dalam mengelola lingkungannya.
Kriteria kearifan lokal
yang terkait dengan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup (Perlindungan
dan Pengelolaan Lingkungan Hidup) terdiri dari:
1.
Nilai-Nilai luhur yang berlaku dalam
tata kehidupan masyarakat
2.
Melindungi dan mengelola lingkungan
hidup secara lestari dan berkelanjutan
Kriteria Pengetahuan Tradisional
(PT) terkait Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (Harry Alexander dan
Miranda Risang Ayu, 2011), secara garis-besar, adalah:
1.
Dihasilkan, direpresentasikan,
dikembangkan, dilestarikan, dan ditransmisikan dalam konteks tradisional dan
antargenerasional,
2.
Secara nyata dapat dibedakan, atau
diakui menurut kebiasaan, sebagai berasal dari suatu komunitas masyarakat hukum
adat, yang melestarikan dan mentransmisikan Pengetahuan Tradisional (PT)
tersebut dari generasi ke generasi, dan terus menggunakan dan mengembangkannya
dalam konteks tradisional di dalam komunitas itu sendiri,
3.
Merupakan bagian integral dari
indentitas budaya suatu masyarakat hukum adat, yang dikenal dan diakui sebagai
pemegang hak atas Pengetahuan Tradisional (PT) itu melalui aktivitas pemangkuan,
penjagaan, pemilikan kolektif, maupun tanggung-jawab budaya. Kaitan antara
Pengetahuan Tradisional (PT) dan pemangkunya ini dapat diungkapkan, baik secara
formal atau informal, melalui praktek-praktek kebiasaan atau praktek-praktek
tradisional, protokol, atau hukum nasional yang berlaku.
4.
Diwariskan dari generasi ke
generasi, meski pun pemakaiannya mungkin tidak terbatas lagi di dalam komunitas
terkait saja.
F.
Kearifan
Lokal dalam Pengelolaan Sumber Daya Alam
Masyarakat setempat
yang menerapkan cara hidup tradisional di daerah pedesaan, yang nyaris tak
tersentuh teknologi umumnya dikenal sebagai masyarakat suku, komunitas asli
atau masyarakat hukum adat, penduduk asli atau masyarakat tradisional.
Masyarakat setempat seringkali menganggap diri mereka sebagai penghuni asli
kawasan terkait, dan mereka biasanya berhimpun dalam tingkat komunitas atau
desa. Kondisi demikian dapat menyebabkan perbedaan rasa kepemilikan antara
masyarakat asli/pribumi dengan penghuni baru yang berasal dari luar, sehingga
masyarakat setempat seringkali menjadi rekan yang tepat dalam konservasi.
Di sebagian besar
penjuru dunia, semakin banyak masyarakat setempat telah berinteraksi dengan
kehidupan modern, sehingga sistem nilai mereka telah terpengaruh, dan diikuti
penggunaan barang dari luar. Pergeseran nilai akan beresiko melemahnya
kedekatan masyarakat asli dengan alam sekitar, serta melunturkan etika
konservasi setempat. Masyarakat tradisional pada umumnya sangat mengenal dengan
baik lingkungan di sekitarnya. Mereka hidup dalam berbagai ekosistem alami yang
ada di Indonesia, dan telah lama hidup berdampingan dengan alam secara
harmonis, sehingga mengenal berbagai cara memanfaatkan sumberdaya alam secara
berkelanjutan.
Masyarakat pedusunan
memiliki keunikan khusus seperti kesederhanaan, ikatan emosional tinggi,
kesenian rakyat dan loyalitas pada pimpinan kultural seperti halnya
konsep-konsep yang berkembang di pedusunan sebagai seluk beluk masyarakat jawa
akan pemahamannya pada : i) Gusti Allah, 2) Ingkang Akaryo jagad, 3) Ingkang Murbeng
Dumadi, 4) Hyang Suksma Adiluwih, 5) Hyang maha Suci, 6) Sang Hyang Manon, 7)
Agama Ageman Aji, dan 8) Kodrat Wiradat. Semua itu menjadi pedoman bagi orang
Jawa dalam berperilaku, sehingga selalu mempertimbangkan pada besarnya
Kekuasaan Gusti Allah dan harus menjaga apa saja yang telah diciptakannya. Di
samping itu dalam berperilaku orang akan berpedoman pada berbagai macam hal
yang pada hakekatnya mempunyai nilai baik dan buruk serta pada kegiatan yang
didasarkan pada benar dan salah.
Dalam kearifan lokal
juga terwujud upaya pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan yang juga
merupakan wujud dari konservasi oleh masyarakat. Berkaitan dengan hal itu, maka
Nababan dalam Suhartini (2009) mengemukakan prinsip-prinsip konservasi dalam
pengelolaan sumberdaya alam secara tradisional sebagai berikut :
1.
Rasa hormat yang mendorong
keselarasan (harmoni) hubungan manusia dengan alam sekitarnya. Dalam hal ini
masyarakat tradisional lebih condong memandang dirinya sebagai bagian dari alam
itu sendiri
2.
Rasa memiliki yang eksklusif bagi
komunitas atas suatu kawasan atau jenis sumberdaya alam tertentu sebagai hak
kepemilikan bersama (communal property resource). Rasa memiliki ini mengikat
semua warga untuk menjaga dan mengamankan sumberdaya bersama ini dari pihak luar.
3.
Sistem pengetahuan masyarakat
setempat (lokal knowledge sistem) yang memberikan kemampuan kepada masyarakat
untuk memecahkan masalah-masalah yang mereka hadapi dalam memanfaatkan
sumberdaya alam yang terbatas.
4.
Daya adaptasi dalam penggunaan
teknologi sederhana yang tepat guna dan hemat (input) energi sesuai dengan
kondisi alam setempat
5.
Sistem alokasi dan penegakan
aturan-aturan adat yang bisa mengamankan sumberdaya milik bersama dari
penggunaan berlebihan, baik oleh masyarakat sendiri maupun oleh masyarakat luar
(pendatang). Dalam hal ini masyarakat tradisional sudah memiliki pranata dan
hukum adat yang mengatur semua aspek kehidupan bermasyarakat dalam satu
kesatuan sosial tertentu.
6.
Mekanisme pemerataan (distribusi)
hasil panen atau sumber daya milik bersama yang dapat mencegah munculnya
kesenjangan berlebihan di dalam masyarakat tradisional. Tidak adanya
kecemburuan atau kemarahan sosial akan mencegah pencurian atau penggunaan
sumberdaya di luar aturan adat yang berlaku.
Contoh
kearifan lokal dalam pengelolaan sumber daya alam dari beberapa daerah yang ada
di nusantara:
a.
Kearifan lokal masyarakat
Suku Bajo terkait pemanfaatan sumber daya di laut
Suku Bajo memiliki nilai-nilai dan
norma yang mengatur kehidupan mereka. Kearifan lokal tersebut membuat Suku Bajo
mampu bertahan hingga sekarang. Kearifan dan pengetahuan lokal tersebut
merupakan hasil dari proses yang sangat panjang dari generasi ke generasi. Beberapa
kearifan lokal Suku Bajo dalam memperlakukan lingkungannya dapat dilihat
padacontoh di bawah ini.
Suku Bajo memiliki kegiatan yang
dinamakan Bapongka atau biasa juga disebut babangi. Bapongka merupakan istilah
untuk kegiatan melaut selama beberapa minggu bahkan bulan dengan perahu
berukuran kurang lebih 4 x 2 meter yang disebut Leppa dengan mengikutsertakan anak
istri (Alwiah dan Utina, 2013). Selama Bapongka terdapat suatu kearifan yang
sangat bermanfaat bagi kelestarian lingkungan perairan yaitu berupa larangan
atau pamali untuk:
a. Tidak
boleh membuang air bekas cucian beras
b.Arang
kayu bekas memasak,
c. Ampas
kopi,
d. Air
cabe,
e. Air
jahe,
f. Kulit
jeruk, dan
g. Abu
dapu
Suku bajo dari sejak jaman dahulu sudah
mulai memiliki pemahaman jika membuang sampah dapat mencemari lingkungan.
Meskipun, sampah yang dibuang merupakan sampah organik dan tidak terlalu
memberikan dampak negatif bagi perairan, namun nilai-nilai tersebut perlu
dilestarikan dan mungkin direvitalisasi dengan penguatan dan penambahan
pemahaman agar larangan membuang limbah berlaku tidak hanya kepada ketujuh
benda yang telah disebutkan di atas, namun juga terhadap seluruh limbah dari
produk modern yang dibawa ketika Bapongka.
Selain larangan dalam membuang tujuh
jenis limbah ketika yang telah disebutkan pada poin sebelumnya, terdapat pamali
lain yang ternyata juga memiliki nilai kelestarian lingkungan. Pamali tersebut
adalah larangan untuk menangkap ikan yang berukuran kecil dan memakannya Mereka
hanya boleh mengkonsumsi ikan yang memiliki ukuran besar atau layak panen. Norma lain yang berlaku adalah menghormati
laut. Suku Bajo sangat menghormati laut karena merupakan sumber penghidupannya.
Bagi Suku bajo pamali untuk mengucapkan kata-kata yang tidak pantas atau
mengumpat di laut. hal tersebut menunjukkan betapa Suku Bajo sangat menghargai
laut. Suku Bajo sangat takut melanggar pamali. Mereka beranggapan akan
mendatangkan malapetaka dan musibah apabila melanggar pamali. Malapetaka atau
musibah tersebut dapat datang dalam berbagai bentuk seperti tidak memperoleh
ikan, badai, ombak besar, dsb
b.
Kearifan lokal masyarakat di Desa Rumbio
Kecamatan Kampar
Kearifan lokal suatu daerah atau tempat berbeda-beda.
Misalnya untuk menjaga kelestarian hutan di Desa Rumbio Kecamatan Kampar
Propinsi Riau dengan cara membuat hutan larangan adat, yaitu melestarikan hutan
bersama-sama di dalam masyarakat tersebut dan masyarakat dilarang menebang di
hutan larangan adat tersebut. Jika dilanggar akan dikenakan denda seperti,
beras 100 kg atau berupa uang sebanyak Rp 6 juta.
c.
Kearifan lokal masyarakat Desa Claket
Berbeda dengan desa
Claket, Kecamatan Pacet, Kabupaten Mojokerto ada kearifan lokal dalam
melestarikan sumber air yaitu dengan upacara “bersih desa”, yaitu berjalan
bersama-sama seluruh warga desa sambil membawa makanan menuju sumber mata air
Claket. Setelah sampai pada sumber mata air, diadakan acara “Selamatan” seluruh
warga sebagai ungkapan rasa syukur kepada Tuhan atas karunia-Nya berupa sumber
air sehingga dapat memberi penghidupan seluruh warga yang sehari sebelumnya
tempat tersebut dibersihkan terlebih dahulu dan ditanami pohon.
Hampir sama seperti di
Jawa, untuk menjaga kelestarian hutan di bali khususnya di Desa Penglipuran
bentuk kearifan lokal masarakat setempat yaitu adanya konsep “Hutan Due” yang
telah disahkan pada awig-awig (peraturan) desa. Konsep “Hutan Due” yang berarti
hutan yang dikeramatkan oleh masyarakat setempat. Kayu atau pun hasil hutan
yang ada di hutan itu hanya bisa digunakan untuk keperluan upacara adat. Jika
ada orang yang mengambil hasil hutan pada hutan tersebut untuk kepentingan
pribadi tanpa sepengetahuan aparat desa, maka akan dikenakan sangsi sesuai
awig-awig yang telah disepakati.
d.
Kearifan lokal masyarakat Bali
Sedangkan untuk
masarakat bali pada umumnya untuk melestarikan hutan dengan cara mengadakan
perayaan hari Tumpek Pengatag yang diadakan setiap 210 hari sekali. Pada
upacara ini mengajarkan pada umat manusia bahwa kita wajib bersyukur atas
harmoni yang membantu kita tinggal dalam alam kehidupan kini. Menghormati dan
menghargai bumi dan seisinya, khususnya tanaman yang ada, memberi isyarat dan
makna mendalam agar manusia mengasihi dan menyayangi alam dan lingkungan yang
telah berjasa menopang hidup dan penghidupannya.
Kalau kita pandang dari
segi sosial masyarakat bahwa kearifan lokal itu merupakan media pembelajaran
bagi masyarakat untuk belajar saling menghormati dan saling menyayangi. Baik
sesama manusia maupun terhadap lingkungan.
e.
Kearifan lokal masyarakat
Minangkabau
Di Propinsi Sumatera
Barat yang sering juga disebut dengan Ranah Minang, juga terdapat beberapa
jenis Kearifan Lokal yang berkaitan dengan pengelolaan Hutan Tanah dan Air
diantaranya Rimbo Larangan, Banda Larangan, Tabek Larangan, Mamutiah Durian,
Parak, Menanam Tanaman Keras sebelum Nikah, Goro Basamo dan masih banyak lagi
yang lainnya.
1.
Rimbo Larangan (Hutan Larangan )
Yaitu hutan yang
menurut aturan adat tidak boleh ditebang karena fungsinya yang sangat vital
sekali sebagai persediaan air sepanjang waktu untuk keperluan masyarakat,
selain itu kayu yang tumbuh dihutan juga dipandang sebagai perisai untuk
melindungi segenap masyarakat yang bermukim disekitar hutan dari bahaya tanah
longsor. Apabila ada terdapat diantara warga yang akan membuat rumah yang
membutuhkan kayu, maka harus minta izin lebih dulu kepada aparat Nagari melalui
para pemangku adat untuk menebang kayu yang dibutuhkan dengan peralatan
Kapak dan Gergaji tangan.
2.
Banda Larangan ( Sungai, Anak Sungai / Kali Larangan )
Merupakan suatu aliran
sungai yang tetap dijaga agar tidak tercemar dari bahan atau benda yang
bersifat dapat memusnahkan segenap binatang dan biota lainnya yang ada di
aliran sungai sehingga tidak menjadi punah, seperti halnya warga masyarakat
tidak boleh menangkap ikan dengan cara Pengeboman, memakai racun, memakai
aliran listrik dan lain sebagainya. Untuk panen Ikan dari Banda Larangan tersebut,
pihak Pemangku Adat dan Aparat Nagari melaksanakan dengan cara membuka larangan
secara bersama-sama masyarakat untuk kepentingan bersama dan hasilnya selain
untu masyarakat juga sebahagian untuk KAS Nagari. Biasanya Banda Larangan ini
dibuka sekali setahun atau sekali dua tahun tergantung kesepakatan Para
Pemangku Adat.
3.
Tabek Larangan ( tebat larangan )
Yaitu Kolam air yang
dibuat secara bersama oleh masyarakat pada zaman dulu dengan tujuan untuk
persediaan air bagi kepentingan masyarakat dan didalam Tabek tersebut juga
dipelihara berbagai jenis ikan, saat untuk membuka Tabek Larangan tersebut sama
dengan seperti di Banda Larangan.
4.
Mamutiah durian ( memutih durian )
Yaitu kegiatan
menguliti pohon durian apabila kedapatan salah seorang warga masyarakat pemilik
pohon durian yang memanjat dan memetik buah durian sebelum durian itu matang,
hal itu dilakukan sebagai sanksi moral bagi masyarakat yang melakukannya karena
dipandang tidak mempunyai rasa sosial antar sesama. Setelah pohon Durian
dikuliti maka secara berangsur pohon itu akan mati. Biasanya pemilik pohon
durian akan mendapatkan hasil semenjak matahari terbit sampai terbenam,
sedangkan disaat malam hari buah durian yang jatuh telah menjadi milik bersama.
5.
Parak
yaitu suatu lahan
tempat masyarakat berusaha tani dimana terdapat keberagaman jenis tanaman yang
dapat dipanen sepanjang waktu secara bergiliran, sehingga pada lahan parak ini
terdapat nilai ekonomi yang yang berkelanjutan. Apabila dilihat dari jauh,
parak di pandang seolah-olah seperti hutan dan juga berfungsi sebagai penyangga
bagi daerah dibawahnya
e.
Kearifan lokal masyarakat Desa
Ciomas, Jawa Barat
Masyarakat di Desa ini
memiliki satu kearifan lokal warisan nenek moyang mereka mengenai pelestarian
lingkungan yang sampai saat ini masih dengan teguh mereka jaga. Salah satunya
adalah dengan masih menetapkannya Leuweung Larangan (hutan larangan) di kawasan
Gunung Sawal sebagai tempat yang harus betul-betul dijaga kelestariannya.
Di samping itu, ada
pula beberapa tahapan dalam adat masyarakat Ciomas yang mengedepankan pola-pola
sistematis dan bertahap dalam hal pelestarian hutan di lingkungan mereka.
Tahapan adat itu terbagi dalam tiga tahap yang begitu sistematis dan penuh
perhitungan. Inilah tahap-tahap dalam adat Masyarakat Ciomas dalam hal menjaga
lingkungan hutan agar tetap lestari:
1. Kabarataan
Kabarataan adalah
sebuah adat yang mengedepankan pada analisis yang mendalam terhadap
kerusakan-kerusakan hutan yang terdapat dalam tata wilayah mereka. Dalam adat
Kabarataan ini meliputi menghitung berbagai kerusakan hutan, menetapkan waktu
pemulihan kerusakan tersebut (Tata Wayah) dan juga rancangan kerja tentang
apa-apa saja yang harus dilakukan untuk memulihkan kerusakan (Tata Lampah).
Tidak hanya itu, dalam adat Kabarataan ini juga diadakan upacara penanaman
pohon panayogian atau penanda yang disebut dengan nama Ki Pasang, mengingat
pohon yang di tanam adalah dua jenis pohon yang sama dan berdampingan. Dalam
prosesi adat menanam pohon panayogian biasanya dilakukan pada akhir menjelang
rangkaian adat Kabarataan berakhir. Yang membuat saya terkesan adalah, untuk
pohon yang di tanam dalam Panayogian ini masyarakat adat mewajibkan untuk hanya
menanam jenis pohon yang tumbuh di wilayah itu dan sama sekali tidak dibolehkan
untuk menanam pohon yang berasal dari luar daerah tersebut. Hal itu tentu saja
dilakukan bukan dengan tanpa alasan sama sekali.
Tujuan utama dari
penanaman pohon yang harus dari wilayah tersebut dengan perhitungan bahwa
adaftasi sebuah tanaman dengan tanah dan lingkungan baru adakalanya memakan
proses yang tidak selamanya berjalan mulus. Jika pohon yang ditanam merupakan
tanaman asli dari wilayah tersebut maka diharapkan proses adaptasi dan
pertumbuhan dari sang pohon yang baru di tanam bisa lebih mudah dilalui.
2. Kadewaan
Untuk tahapan
berikutnya setelah prosesi adat Kabarataan berakhir maka dilanjutkan dengan
tahapan selanjutnya yakni melaksanakan adat Kadewaan. Kadewaan sendiri pada
prinsipnya adalah awal dimulainya proses pemulihan hutan dan lingkungan termasuk
mata air, sungai, dan aneka tumbuhan di sekitar wilayah tersebut yang pada saat
adat Kabarataan dianggap sudah waktunya dipulihkan dari kerusakan-kerusakan.
Maka, jika dalam adat Kabarataan adalah berupa analisis yang mendalam untuk
mendeteksi kerusakan-kerusakan lingkungan berikut dengan pola-pola apa saja
yang akan diambil dalam upaya penyembuhan lingkungan yang rusak tersebut, maka
dalam adat Kadewaan ini adalah upaya pelaksanaan dari pemulihan itu sendiri.
Dalam Kadewaan ini, masyarakat diwajibkan untuk menanam pohon di tempat-tempat
yang dianggap telah rusak. Dan seperti pada adat Kabarataan, pohon-pohon yang
ditanam di sini pun harus berasal dari jenis pohon yang ada di wilayah
tersebut.
3. Karatuan
Untuk tahapan terakhir
dari rangkaian adat ini adalah pelaksanaan adat karatuan. Adat Karatuan adalah
sebuah proses berkesinambungan antara terus memulihkan lingkungan dan juga
menjaga keberlangsungan pemulihan itu sendiri hingga tercapai sebuah tata
lingkungan yang benar-benar subur, bersahabat dan tentu saja bisa diambil
manfaatnya oleh penduduk setempat. Maka dari itu, dalam adat karatuan ini
sifatnya jangka panjang dan oleh karenanya waktu yang ditetapkan pun adakalanya
hingga ratusan tahun.
f.
Kearifan lokal masyarakat Krui-Lampung Barat
Repong Damar atau hutan
damar, merupakan model pengelolaan lahan bekas lading dalam bentuk wanatani
yang dikembangkan oleh masyarakat Krui di Lampung Barat, yaitu menanami lahan
bekas lading dengan berbagai jenis tanaman, antara lain damar, kopi, karet,
durian.
g.
Kearifan lokal masyarakat Orang Rimba-Jambi
Hompongan merupakan
hutan belukar yang melingkupi kawasan inti pemukiman Orang Rimba (di kawasan
Taman Nasional Bukit Dua Belas, Jambi) yang sengaja dijaga keberadaannya yang
berfungsi sebagai benteng pertahanan dari gangguan pihak luar.
h.
Kearifan lokal masyarakat Dayak Iban-Kalimantan
Barat
Tembawai merupakan
hutan rakyat yang dikembangkan oleh masyarakat Dayak Iban di Kalimantan Barat,
yang didalamnya terdapat tanaman produktif, seperti durian.
i.
Kearifan lokal masyarakat Maluku
Sasi merupakan aturan
adat yang menjadi pedoman setiap warga masyarakat Maluku dalam mengelola
lingkungan termasuk pedoman pemanfaatan sumber daya alam.
j.
Kearifan lokal masyarakat Maluku
Mamancing Ikan
merupakan aturan adat yaitu larangan atau boboso. Pamali Mamancing Ikab ini
secara yurisdiksi terbatas pada nilai-nilai adat, dan agama, tetapi konsep
property right ini terbentuk dari pranata sosial masyarakat yang telah
berlangsung sejak lama dalam mengatur pemanfaatan sumberdaya pesisir dan laut.
k.
Kearifan lokal masyarakat Dayak
Benuaq-Kalimantan Timur
Simpuk Munan atau lembo
bangkak merupakan hutan tanaman buah-buahan (agroforestry) yang dikembangkan
oleh masyarakat Dayak Benuaq di Kalimantan Timur.
l.
Kearifan lokal masyarakat To Bentong-Sulawesi
Selatan
Koko dan tattakeng sebelum
mengenal pertanian padi sawah, orang To Bentong mewariskan lahan bagi
keturunannya berupa kebun (Koko) dan lading yang ditinggalkan (Tattakeng). Koko
adalah lahan perladangan yang diolah secara berpindah, sedangkan Tattakeng
adalah lahan bekas perladangan yang sedang diberakan.
m.
Kearifan lokal masyarakat Minahasa-Sulawesi
Utara
Mapalus pada masyarakat
Minahasa, merupakan pranata tolong menolong yang melandasi setiap kegiatan
sehari-hari orang Minahasa, baik dalam kegiatan pertanian, yang berhubungan
dengan sekitar rumah tangga, maupun untuk kegiatan yang berkaitan dengan
kepentingan umum.
n.
Kearifan lokal masyarakat Bolaang
Mongondow-Sulawesi Selatan
Moposad dan Moduduran
merupakan pranata tolong menolong yang penting untuk menjaga keserasian
lingkungan sosial.
o.
Kearifan lokal masyarakat Banjar – Kalimantan
Selatan
Kapamalian merupakan
aturan-aturan (pantangan) dalam pengelolaan lingkungan, misalnya larangan
membuka hutan keramat.
p.
Kearifan lokal masyarakat Sumba Timur- Nusa
Tengara Timur
Gugus hutan yang
disebut Pahomba, terlarang keras untuk dimasuki apalagi untuk diambil hasil
hutanya. Pada hakekatnya pohon-pohon di setiap pahomba itu berfungsi sebagai
pohon-pohon induk yang dapat menyebarkan benih ke padang-padang rumput yang
relatif luas.Karena itu, jika api tidak menghangus matikan anakan pepohonan
itu, proses perluasan hutan secara alamiah dapat berlangsung. Pepohonan di
pahomba disekitar batang sungai berfungsi sebagai riparian atau tumbuhan tepain
sungai yang berfungsi sebagai filter terhadap materi erosi, dan sekaligus
berfungsi sebagai sempadan alamiah sungai dan untuk pelestarian air sungai.
q.
Kearifan lokal masyarakat Bali
Salah satu teknologi
tradisional pemakaian air secara efisien dalam pertanian dilakukan dengan cara
Subak. Lewat saluran pengairan yang ada pembagian aliran berdasarkan luas areal
sawah dan masa pertumbuhan padi dilakukan dengan menggunakan alat bagi yang
terdiri dari batang pohon kelapa atau kayu tahan air lainnya. Kayu ini dibentuk
sedemikian rupa dengan cekukan atau pahatan dengan kedalaman berbeda sehingga
debit air yang mengalir di satu bagian berbeda dengan debit air yang mengalir
di bagian lainnya. Kayu pembagi air ini dapat dipindah-pindah dan dipasang
diselokan sesuai dengan keperluan, yang pengaturannya ditentukan oleh Kelihan
Yeh atau petugas pengatur pembagian air.
r.
Kearifan lokal masyarakat Bali
Tri Hita Karana, suatu
konsep yang ada dalam kebudayaan Hindu-Bali yang berintikan keharmonisan
hubungan antara Manusia-Tuhan, manusia-manusia, dan manusia-alam merupakan tiga
penyebab kesejahteraan jasmani dan rohani. Ini berarti bahwa nilai keharmonisan
hubungan antara manusia dengan lingkungan merupakan suatu kearifan ekologi pada
masyarakat dan kebudayaan Bali.
s.
Kearifan lokal masyarakat Desa Gasang-Jawa
Timur
Bersih Deso (bersih
desa) adalah suatu acara adat dan sekaligus tradisi pelestarian lingkungan yang
masih dilaksanakan masyarakat Desa Gasang sampai sekarang. Dilakukan setiap
tahun pada bulan Jawa Selo (Longkang) dipilih dari hari Jumat Pahing.
Masyarakat secara berkelompok membersihkan lingkungan masing-masing seperti
jalan, selokan umum dan sungai. Setelah selesai melaksanakan bersih deso secara
berkelompok mereka menyelenggarakan upacara semacam “sedekah bumi” dengan sajian
satu buah buceng besar, satu buceng kecil, sayur tanpa bumbu lombok tanpa
daging, berbagai macam hasil bumi yang biasa disebut “pala kependhem” dan “pala
gumantung”.
t.
Kearifan lokal masyarakat Desa Bendosewu-Jawa
Timur
Tradisi bersih desa di
Desa Bendosewu dikenal dengan wewaler yang merupakan pesan dari leluhur yang
babad desa. Isi pesan adalah “jika desa sudah rejo (damai, sejahtera) maka
hendaknya setiap tahun diadakan upacara bersih desa.” Tradisi bersih desa
disertai kegiatan kebersihan lingkungan secara serentak, yaitu membersihkan
jalan-jalan, rumah-rumah, pekarangan, tempat-tempat ibadah, makam dan
sebagainya. Kegiatan ini disebut pula dengan “tata gelar” atau hal yang
sifatnya lahiriah. Hal yang berkaitan dengan “tata gelar” dalam bersih desa bagi
masyarakat Bendosewu sudah menjadi bagian hidupnya, sehingga tidak perlu
diperintah lagi.
u.
Kearifan lokal masyarakat Kasepuhan
Sirnaresmi-Jawa Barat
Seren Taun memiliki
banyak arti bagi masyarakat kasepuhan diantaranya adalah puncak prosesi ritual pertanian
yang bermakna hubungan manusia, alam, dan pencipta-Nya. Seren Taun adalah
perayaan adat pertanian kasepuhan sebagai ungkapan rasa syukur setelah mengolah
lahan pertanian sengan segala hambatan dan perjuangannya untuk mendapatkan
hasil yang optimal. Seren Taun adalah pesta masyarakat adat Kasepuhan sebagai
ungkapan rasa gembira ketika panen datang. Seren Taun juga merupakan
pertunjukan kesenian-kesenian tradisional yang ada di masyarakat Kasepuhan.
Adat istiadat yang berlaku di dalam Kasepuhan ini mengatur pola kehidupan
masyarakat dalam berhubungan dengan sang pencipta (Hablum minallah), hubungan
antar manusia (Hablum minan naas) dan hubungan manusia dengan alam
lingkungannya (Hablum minal alam).
v.
Kearifan lokal masyarakat Kampung Dukuh-Jawa
Barat
Bentuk kearifan dalam
pengelolaan SDA dan lingkungan hidup yang dikembangkan masyarakat Kasepuhan
Pancer Pangawinan diwujudkan dalam penataan ruang hutan, pelestarian dan
pengelolaan air, pengelolaan lahan dengan pengembangan talun. Selain itu juga
diwujudkan dalam pengetahuan tradisional tentang berbagai jenis sumber daya
alam, seperti padi varitas lokal. Nilai yang menekankan pentingnya melestarikan
lingkungan itu dikuatkan lewat berbagai upacara tradisional, mitos dan tabu.
Menurut warga Kasepuhan, hutan digolongkan menjadi 3 jenis, yaitu:
Leuweung Kolot atau Leuweung Geledegan atau hutan tua, yaitu hutan yang masih
lebat ditumbuhi berbagai jenis pohon dengan kerapatan yang tinggi, dan masih
banyak ditemukan binatang liar hidup di dalamnya. Hutan ini masih ada di
sekitar kawasan Taman Nasional Gunung Halimun.
Leuweung Titipan atau hutan keramat. Hutan ini tidak boleh dimasuki apalagi
dieksploitasi oleh siapa pun, kecuali ada izin dari Abah Anom. Hutan ini akan
dimasuki apabila Abah Anom menerima wangsit atau ilapat dari nenek moyang yang
memerlukan sesuatu dari kawasan gunung tersebut. Kawasan hutan keramat adalah
kawasan Gunung Ciwitali dan Gunung Girang Cibareno; Leuweung Sampalan atau
Leuweung bukaan, yaitu hutan yang dapat digunakan dan dieksploitasi serta
dibuka oleh warga Kasepuhan. Di sini warga boleh membuka lading, kebun sawah,
menggembala ternak, mengambil kayu bakar dan hasil hutan lainnya yang ada. Yang
termasuk lahan bukaan adalah lahan di sekitar tempat pemukiman penduduk. Bekas
lahan lading ataupun sawah yang sudah dipanen lalu ditanami dengan tanaman
musiman dan tanaman keras sehingga membentuk hutan buatan disebut Talun.
Tanaman buah-buahan sering digunakan seperti duren, rambutan, atau tanaman
lainnya seperti petai, cengkeh, dan sebagainya. Setelan Talun ditanami biasanya
akan ditinggal begitu saja. Artinya pemeliharaannya tidak begitu intrnsif
disbanding dengan kebun.
w.
Kearifan lokal masyarakat Lampung
Piil Pasenggiri
merupakan falsafah hidup atau pedoman dalam bertindak bagi setiap warga masyarakat
Lampung, yakni: menemui muimah (ramah lingkungan), nengah nyappur (keseimbangan
lingkungan), sakai sambayan (pemanfaatan lingkungan), dan juluk adek
(pertumbuhan lingkungan).
x.
Kearifan lokal masyarakat Lahat – Sumatera
Selatan)
Undang-Undang Simbur Cahaya
yang sebagian substansinya mengatur tentang pentingnya pelestarian lingkungan.
y.
Kearifan lokal masyarakat Sumatra Selatan
Pengetahuan Ke-Kean
adalah perhitungan waktu yang tepat untuk menanam jenis tanaman tertentu yang
dikaitkan dengan ilmu perbintangan.
z.
Kearifan lokal Pasemah Sumatra Selatan
Salah satu bentuk
kearifan lingkungan masyarakat Pagar Alam adalah Tebat milik komunal. Tebat
dapat dimiliki secara individual maupun kolektif. Tebat memiliki fungsi sosial,
untuk memperkuat rasa solidaritas dan integrasi masyarakat. Setiap kali ikan
dipanen, dilakukan bobos tebas, yaitu menguras isi kolam oleh semua warga desa
secara bersama-sama.
BAB III
Penutup
1.
Simpulan
Cakupan kearifan lokal
cukup banyak dan beragam sehingga sulit dibatasi oleh ruang. Kearifan lokal
berasal dari dua kata yaitu kearifan (wisdom), dan lokal (local). kearifan
lokal dapat diartikan sebagai suatu pengetahuan lokal, yang unik yang berasal
dari budaya atau masyarakat setempat, yang dapat dijadikan dasar pengambilan
keputusan pada tingkat lokal dalam bidang pertanian, kesehatan, penyediaan
makanan, pendidikan, pengelolaan sumberdaya alam dan beragam kegiatan lainnya
di dalam komunitas-komunitas. Masyarakat Indonesia dengan ribuan komunitas
mengembangkan kearifan lokal sesuai dengan karakterisktik lingkungan yang khas.
Secara suku bangsa terdapat lebih kurang 555 suku bangsa atau sub suku bangsa
yang tersebar di wilayah Kepulauan Nusantara Dalam kearifan lokal juga terwujud
upaya pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan yang juga merupakan
wujud dari konservasi oleh masyarakat.
2.
Rekomendasi
Makalah ini dibuat denagan tujuan memberikan
pengetahuan kepada pembaca untuk mengetahui kearifan lokal di nusantara.
Khususnya dalam pengelolaan sumber daya alam dan pengelolaan lingkungan yang
berada disekitar kita. Berdasarkan contoh-contoh yang telah dipaparkan pembaca
dapat mengetahui cara pengelolaan sumber daya alam, sehingga pembaca dapat
menerapkan ilmu yang telah di dapat
untuk melestarikan lingkungan hidup di sekitarnya.