Jumat, 29 April 2016

Sumbangan Bahasa Melayu Riau Terhadap Bahasa Indonesia

Sumbangan Bahasa Melayu Riau Terhadap Bahasa Indonesia

Oleh Khaidir Anwar, M.A. Ph.D

Ringkasan
Tulisan ini ingin menjelaskan sumbangan bahasa Melayu Riau terhadap bahasa Indonesia. Sumbangan itu dianggapnya luar biasa besarnya, bahkan diberi istilah pelimpahan, pemberian secara menyeluruh.Besarnya sumbangan bahasa Melayu itu berpangkal kepada ciri-cirinya seperti, berkemampuan sebagai alat komunikasi untuk kehidupan tradisional dan modern, mudah penyesuaian dengan dunia modern, mengandung unsur efisiensi bahasa yang cukup besar dan lain-lain. Dewasa ini bahasa Indonesia telah mendapat sumbangan dari bahasa daerah lain, terutama Jawa dan sumbangan bahasa Melayu terlihat berkurang.

Pendahuluan
Umumnya orang mengetahui bahwa bahasa Indonesia yang sekarang berasal dari bahasa Melayu. Yang dimaksud dengan istilah bahasa Melayu adalah bahasa Melayu Riau, yaitu bahasa Melayu yang dimasa-masa sebelum perang dunia ke-2 diajarkan di sekolah-sekolah. Sumbangan dari berbagai bahasa daerah ke dalam bahasa Indonesia sudah banyak dituliskan, seperti dari bahasa Jawa, Sunda, dan lain-lain. Tahun 1983 terbit sebuah buku di Leiden dengan judul : European Loan Words in Indonesian a check-list of words of Europien origin in Bahasa Indonesia and Traditional Malay. Hal ini juga untuk mengingatkan sumbangan dari bahasa-bahasa Barat ke dalam bahasa Indonesia.
Jadi apakah yang akan kita sebut tentang sumbangan bahasa Melayu Riau terhadap bahasa Indonesia? Akan dimasukkan kata-katanya, maka seluruh Kamus Melayu harus digunakan, semua kata Melayu adalah juga kata-kata Indonesia. Bagaimana pula dengan tatabahasanya? Saya kira sama juga, kitab-kitab tentang gramatika bahasa Melayu dapat juga dianggap membicarakan bahasa Indonesia. Kalau demikian ialan pikiran kita, maka kita hanya mengganti nama saja, yaitu dari bahasa Melayu menjadi bahasa Indonesia Akan tetapi tentu cara begini bukan satu-satunya cara untuk melihat persoalan itu (Anwar 1930 : 24-27).

Madalah Nama

Setiap bulan Oktober kita memperingati Hari Sumpah Pemuda antara lain disebut bahasa persatuan, yaitu bahasa Indonesia. Apakah semenjak tahun 1928 sesudah Sumpah Pemuda yang pertama itu betul-betul sudah mempunyai bahasa Indonesia atau lebih tepat menanamkan bahasa Melayu bahasa Indonesia? Ataukah pada waktu itu orang Indonesia menganggap bahwa bahasa Melayu Riau sama dengan bahasa Indonesia? Sepanjang yang pemberian secara menyeluruh.

Bahasa Indonesia Bahasa Modem

Saya kira bahasa Indonesia tidak harus dilihat hanya sebagai kelanjutan dari Bahasa Melayu 3ala: Pustaka atau Bahasa Melayu Riau. Orang akan dapat pula mengemukakan argumentasi bahwa ragam bahasa Melayu lain yang merupakan unsur penting dalam menunjang terbentuknya bahasa Indonesia sebagai bahasa modem. Bisa saja dikatakan umpamanya bahwa bahasa Melayu Riau itu bukannya sebagai pendorong, melainkan se-T.Erarr. penghambat tumbuhnya bahasa Indonesia. Saya teringat pada polemik antara D. Drewes dengan Dr. C.W. Watson. (Watson. 1971 : 417- akademik itu bukan langsung tentang bahasa Indonesia, melainkan tentang sastra Indonesia, akan tetapi implikasinya adalah menyangkut pula bidang bahasa. Dr. Watson dianggap jurang menekankan pentingnya peranan Balai Pustaka, tetapi mengingatkan jasa-jasa penulis pada masa pra-Balai Pustaka, di antaranya penulis-penulis Tiong Hoa. Memang tak dapat disangkal bahwa tulisan -tulisan yang terdapat di berbagai surat kabar yang meng­gunakan bahasa Melayu rendah, jadi bukan bahasa Melayu Riau sangat memainkan pe­ranan dalam mendorong terbentuknya bahasa Indonesia yang modern.
Bahasa Melayu Riau tentu mulanya lebih banyak digunakan sebagai alat komunikasi dalam membicarakan hal-hal yang lebih bersifat tradisional, sedangkan bahasa Melayu rendah disurat-surat kabar sering membahas hal-hal yang berkaitan dengan kehidupan modern, seperti ekonomi, politik, pendidikan dan lain-lain. Dengan sendirinya bahasa ini merupakan alat modernisasi. Akan tetapi bagaimana dengan bahasa Melayu Riau yang dipakai di sekolah-sekolah? Bahasa ini sedikit banyaknya tentu dipakai pula untuk membicarakan hal-hal yang ada hubungannya dengan zaman modern.
Yang cukup menarik untuk kita spekulasikan ialah sebagaimanakah kiranya bentuknya andaikata bahasa Melayu (Riau) tidak ada atau tidak dijadikan basis pembentukan bahasa Indonesia. Apakah bahasa Melayu rendah itu yang akan menjadi bahasa Indonesia? Apa­kah bangsa Indonesia akan mau menerima bahasa rendahan itu menjadi bahasa nasional? Seperti kita ketahui dunia mengenal lahirnya bahasa nasional dari bahasa rendahan atau Creole Respektabilitas.
Pengalaman di beberapa negara berkembang, terutama dinegara-negara baru akan tetapi mempunyai masyarakat yang sudah tua, masalah pemilihan bahasa resmi atau ba­hasa nasional sering ada kaitannya dengan soal Tradisi Besar. Banyak orang berpendapat bahwa bahasa yang mempunyai martabat adalah bahasa yang mempunyai Tradisi Besar, yaitu bahasa dimasa yang silam sudah dipakai sebagai kendaraan budaya tinggi, baik dalam bentuk sastra maupun dalam bentuk pemikiran atau iimu pada umumnya. Sebaliknya dalam alam modern yang amat diperlukan adalah efisiensi, kepersisan dan perbendaha­raan kata yang cukup untuk mengungkapkan peradaban modern. Antara Tradisi Besar dan tuntutan dunia modern itu tidak selalu terdapat kaitan yang erat. Ada bahasa modern yang efisien dan memenuhi tuntutan kehidupan modern. tetapi ada pula yang tidak. Bila terjadi keadaan seperti yang terakhir ini. maka terjadilah hal-hal yang menarik dalam pem­binaan bahasa. Adakalanya pengaruh Tradisi Besar itu demikian mencekam pada suatu budaya sehingga orang rela mengorbankan efisiensi demi untuk melestarikan Tradisi Besar itu. Akan tetapi ada pula budaya yang tak segan-segan mengorbankan kebanggaan akan Tradisi Besar itu demi untuk mencapai suatu efisiensi di bidang bahasa. juga di beberapa negara Arab. Di Tanah Air barang kali bahasa Jawa lebih cenderung untuk digolongkan pada yang terakhir ini pula.
Sekarang bagaimana dengan bahasa Melayu? Apakah bahasa Melayu dapat dikatakan mempunyai Tradisi Besar? Secara relatif di Nusantara ini saya kira dapat. Barangkali secara gans besar dapat dikatakan bahwa di Nusantara terdapat dua buah Tradisi Besar, yaitu bahasa Jawa dan bahasa Melayu. Dari segi umur dan ukuran Tradisi Jawa, terlihat lebih besar martabatnya daripada Tradisi Melayu. Akan tetapi terlihat pula bahwa dalam me­menuhi tuntutan penyesuaian terhadap dunia modern, bahasa Melayu rasanya lebih unggul. Dalam hubungan ini Profesor Marcel Bonneff mengemukakan sebuah tulisan kuno dayanya tidak berorientasi pada istana. Seandainya bahasa Melayu tidak diubah menjadi suatu bahasa yang merakyat, maka sulitlah buat pergerakan nasional untuk menerimanya sebagai bahasa persatuan. Sungguh menarik bahwa bahasa yang pada mulanya agak berorientasi feodal itu dapat berubah menjadi bahasa rakyat dengan orientasi demokratis. Semua pergerakan nasional Indonesia yang penting mempunyai orientasi yang dekmoratis. kaum nasionalis kita dari segala aliran bercita-cita untuk mewujudkan masyarakat Indonesia yang merdeka dan demokratis. Oleh karena itu, mereka enggan menggunakan bahasa yang dianggapnya kurang menunjukkan ciri-ciri demokrasi dalam kata-kata dan tatacara penggunaannya. Bahasa Melayu Riau yang modern dianggap memenuhi syarat untuk dipakai sebagai alat komunikasi suatu masvarakat merdeka yang demokratis. Kaum nasionalis Indonesia mempraktekkan cara hidup berdemokrasi dengan memupuk kemer­dekaan menyatakan pendapat dan beradu argumentasi. Sebenarnya pada lingkungan yang sangat terbatas, penggunaan bahasa Belanda Iebih memuaskan buat kebanyakan mereka. Akan tetapi untuk mencapai lingkungan yang lebih luas, mereka memerlukan bahasa Melayu. Jadi tidak ternilai pula sumbangan bahasa Melayu dalam bidang perjuang­an bangsa ini.

Sumbangan Bahasa Melayu Dewasa Ini
Dewasa ini bahasa Indonesia mendapat sumbangan yang tidak putus-putusnya dari berbagai bahasa daerah di Indonesia. Sumbangan yang agak menonjol kelihatan datang dari pulau Jawa. Kata-kata Sanskerta yang akhir-akhir ini cukup banyak masuk ke dalam bahasa Indonesia.
Adapun sumbangan yang berasal dari bahasa Melayu pada umumnya terlihat ber­kurang. Bahasa Melayu seolah-olah seperti kehabisan darah untuk ikut memperkaya per­bendaharaan kata bahasa Indonesia. Dalam Bidang ketatabahasaan dan berbagai ungkapan pun terlihat menurunya pengaruh bahasa Melayu dalam bahasa Indonesia. Sebab dari gejala ini tentu melibatkan banyak) faktor. Ambillah sebuah hal yang sepele sebagai suatu pe­nyebab Orang Melayu dalam percakapan sehari-hari sering menggunakan kata jering, yaitu buah yang mempunyai bau khusus kesukaan banyak orang Indonesia. Saya memperoleh semacam kesan bahwa bila berbicara dalam bahasa Indonesia, orang Melayu terpelajar cenderung menggunakan kata jengkol dan merasa lebih afdol (diutamakan) dengan kata jengkol itu dibandingkan dengan kata jering. Bila hal ini memang dapat dibuktikan, maka dapat diartikan bahwa masalah jering vorsus jengkol ini adalah suatu sebab menurunnya sumbangan bahasa Melayu ke dalam bahasa Indonesia. Orang Melayu nampaknya merasa lebih afdol bila menggunakan kata yang berasal dari pulau Jawa. Barangkali salah satu sebab pendorong ke arah ini ialah kenyataan bahwa jumlah orang Melayu yang cerdas yang belajar di perguruan-perguruan tinggi di Jawa cukup besar. Tak ayal lagi lingkungan sosialnya akan sangat berpengaruh terhadap penggunaan bahasanya. Dan jangan dilupa­kan bahwa pengaruh kaum elite, dalam pembentukan bahasa peradaban sangat besar adanya.

Faktor lain yang penting yang menyebabkan berkurangnya sumbangan bahasa Melayu ke dalam bahasa Indonesia tentulah faktor demografi dan juga faktor politik serta kekuasaan Orang Melayu bukanlah bagian terbesar dari penduduk Indonesia dan mereka tak dapat dikatakan sebagai pusat kekuasaan. Mungkin bahasa Melayu sekarang semacam tahu diri. sehingga lebih suka ikut daripada jadi ikutan. Kalau dalam hal jering saja ia lebih me­nyukai jengkol, maka dapat diduga betapa sikap bahasa Melayu sekarang tentang kata yang lebih penting daripada nama buah itu. Kata pengejawantahan, ambeg prama arta. sandang pangan dan banyak lagi yang lain mulai terdengar merdu oleh telinga Melayu.
Di waktu yang lalu bahasa Melayu sangat keras mempertahankan kaedah dan ung­kapan Melayu. Bahasa Melayu mewajibkan para pemakainya untuk mematuhi aturan-aturan yang ketat itu. Disiplin penggunaan bahasa amat dipentingkan. Ini merupakan sum­bangan dari bahasa Melayu terhadap perkembangan bahasa Indonesia, yaitu suatu sikap berbahasa yang sangat hati-hati. Kita mengetahui bahwa apa yang dinamakan Bahasa Melayu Koran      rendahan tidak atau kurang mementingkan aspek ini.
Masalah yang sangat dirasakan berat ialah kaburnya rujukan. Walaupun peranan ba­hasa Melayu dalam perkembangan bahasa Indonesia sekarang sudah menurun, masih banyak para ahli bahasa yang tak hendak membuang pola Melayu begitu saja. Dalam usaha penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar, kita masih melihat cara memperhatikan tuntutan-tuntutan kepatutan bahasa Melayu yang sudah diinsirnisasikan.
Sumbangan yang diberikan oleh bahasa Melayu ialah penggunaan bahasa yang menghendaki kejernihan pikiran itu tadi. Bahasa Melayu lebih menekankan kepada kejernihan pikiran daripada betulnya gramatika dalam arti teknis yang ketat. Cobalah lihat ungkapan-ungkapan dan peribahasa Melayu. Ia tak seragam betul-betul, penggunaan bahasanya dari sudut gramatika teknis agak bervariasi. Akan tetapi pikiran yang dikandungnya sangat jelas dan terang-benderang. Salah satu unsur keindahan terletak pada ketajaman tusuk katanya bukan pada kekaburan dan kegaibannya. Akhirnya patut disebutkan bahwa kita semua mengetahui betapa eratnya hubungan bahasa dan budaya. Sumbangan bahasa Melayu terhadap perkembangan bahasa Indonesia juga merupakan sumbangan budaya, sumbangan alam dan cara berpikir. Bahasa dan kebudayaan Indonesia akan terasa miskin, sekiranya sumbangan itu hanya datang dari bahasa dan budaya Melayu. Sebaliknya, se­kiranya bahasa dan budaya Melayu tak mau menyumbang lagi, maka bahasa dan budaya Indonesia akan kurang kaya.

Dalam kita membicarakan sumbangan bahasa Melayu terhadap bahasa Indonesia, perlu pula disinggung sedikit hubungan antara budaya dan bahasa Melayu, budaya Indo­nesia dan bahasa Indonesia. Kita mengetahui bahwa banyak orang yang menganggap bahwa antara budaya dan bahasa terdapat hubungan yang sangat erat. Kita mengenal selogan yang berbunyi "Bahasa menunjukkan bahasa.” Diantara para ahli bahasa dikenal hipotesis Sapir dan Whorf yang mengatakan bahwa budaya bahkan ditentukan oleh bahasa.
Pendapat Sapir dan Whorf ini sangat banyak kelemahannya sehingga jarang diterima orang secara utuh. Pendapat orang awan atau selogan yang berbunyi”Bahasa menunjuk­kan Bangsa” juga sulit membuktikannya secara menyakinkan. Terlalu banyak bahasa di dunia ini yang boleh dikatakan terlepas dari induk kebudayaannya. Bahasa Inggris di Ame­rika tidak dapat kita katakan menunjukkan kebudayaan Ingyiis secara keseluruhan Bahasa Arab terutama di masa-masa kejayaan Islam dulu lebih merupakan hasil kebudayaan Islam dari pada kebudayaan Arab. Bahasa Arab banyak dikembangkan oleh orang-orang yang bukan dari bangsa Arab. Bahkan orang Yahudi dan Kristen pun mempunyai andil dalam perkembangan bahasa Arab.
Bila kita menengok kepada bahasa Melayu, maka hal yang hampir serupa terlihat pula. Bahasa Melayu dikembangkan bukan hanya oleh orang Melayu. Kita umpamanya dapat menunjukkan kepada Nuruddin Ar Raniri yang tidak dibesarkan dalam budaya Me­layu dan bukan berasal dari orang Melayu. Baru beberapa waktu dia tiba di Aceh dia telah menulis karya besarnya dalam bahasa Melayu. Abdullah Munsyi juga demikian hal­nya. Banyak lagi yang lain. Memang begitulah hakekatnya bahasa atau beberapa bahasa yang akhirnya menjadi bahasa umum yang besar. Bahasa Inggris dikembangkan oleh ber­bagai bangsa, seperti orang scot. orang Wales, orang Irlandia dan lain-lain. Bahasa yang terlalu erat hubungannya dengan budaya tertentu dan sulit untuk melepaskan diri sedikit banyaknya dari budaya asalnya, jarang yang diterima orang sebagai bahasa umum.
Faktor melonggarkan hubungan antara bahasa dan budaya dalam pengertian di atas, sebenarnya juga merupakan sumbangan bahasa Melayu terhadap bahasa Indonesia. Ba­hasa yang terlalu erat hubungannya dengan budaya kadang-kadang dapat merupakan sesuatu yang mengukung. Sebaliknya bahasa yang tidak terlalu erat hubungannya dengan budaya dapat menjadi alat untuk menuju perluasan daerah pembebasan. Bahasa Me­layu yang mulanya sangat erat hubungannyan dengan budaya Melayu lama kelamaan berubah menjadi bahasa yang agak netral budaya dan akhirnya menjelma menjadi bahasa Indonesia. Bahasa Indonesia lalu menjadi menjadi bahasa kita bersama yang mempunyai latar belakang budaya yang beraneka ragam.

Anwar, Khaidir. Indonesia, the development and use of a national language. Gajah Mada University Press. Yogyakarta, pp : 24-27.
1976 "Minangkabau : back round of the pioneers of modern Standard Malay. Dalam : Archipel No.12, pp : 77-93.
Bonneff, Marcel ”Un Apercu De L’Influence Des Aspirations Democratiques Sur La Con-seption Et, L. Usage Des ’Niveaux De Langue’ En Javanais : Le Mouvement Djojo-Dipo Et Ses Prolongements”. Dalam : Papers on Indonesian Lan-guages and Literatures, Nigel Philips and Khaidir Anwar (Eds.). London & Paris, pp : 35-53.
Drewes. G.W.J. 1981 Balai Pustaka and Its Antecedents. Dalam: Papers on Indonesian Languages and Literatures, Nigel Philips and Khaidir Anwar (Eds.). London & Paris pp : 102 -103.
Teeuw. A. 1980. The Impact of Balai Pustaka on Modern Indonesian Literature”. Dalam :
Bulletin S.O.A.S., volume XXXV, p : 119. London.
Watson, C.W. 1971    ”Some Preliminary Remarks on the Antecedents of Modern Indonesian
Literature . Dalam : Bijdragen tot de Tall-, Land-en Volkenkunde, CXXVII (4). pp : 417-433. Leiden.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar